KONTEKS TINGGI-RENDAH DALAM BUDAYA

assets-a1.kompasiana.com
Mulanya, saya masih bertanya-tanya, apa itu gaya komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah. Akhirnya, sedikit banyak saya mengetahui bahwa kedua konteks tersebut adalah orientasi yang dikenalkan oleh Edward T. Hall. Sehingga, memudahkan kita untuk mengklasifikasikan perbedaan antarbudaya. Isu ini setidaknya dibahas cukup sederhana dalam buku “Communication Between Cultures” Edisi 7 Terjemahan. Tepatnya pada halaman 256-257.
Ngomong-ngomong, buku Larry A. Samovar dkk ini cukup tebal juga untuk dibaca (493 halaman!). Saya pikir, mereka yang mau mendalami buku ini sungguh-sungguh, dapatlah dikatakan telah mempelajari komunikasi antarbudaya dengan cukup baik. Berikut beberapa hal yang saya rangkum dari buku terbitan Salemba Humanika ini.  
Hall mengklasifikasikan konteks tinggi dan konteks rendah sebagai berikut: “Komunikasi konteks-tinggi merupakan komunikasi dimana sebagian besar informasi diketahui orang tersebut, dan hanya sedikit yang dibagikan sebagai bagian dari pesan. Sebaliknya dengan komunikasi konteks rendah yaitu jumlah informasi lebih besar dari yang disampaikan”. Artinya, komunikasi konteks tinggi lebih bersifat tersirat (tidak langsung) ketimbang komunikasi konteks rendah yang tersurat (langsung).
Negara-negara yang tergabung dalam konteks ini adalah Jepang, Cina, Korea, Afrika-Amerika, Amerika (Pribumi), Arab dan negara-negara timur/Asia kebanyakan. Gaya komunikasi konteks tinggi biasanya berlaku pada negara yang masyarakatnya homogen. Gaya komunikasi ini menghendaki peserta komunikasinya untuk tidak hanya mengandalkan pesan melalui kata-kata (verbal), tetapi juga isyarat (nonverbal). Menurut Hofstede, budaya konteks tinggi lebih sering ditemukan pada masyarakat yang tradisional. Namun, pertanyaan saya ialah, “Apakah masyarakat yang telah modern tidak lagi berkonteks tinggi? Saya pikir tetap tidak bisa dipukul rata.
Masyarakat konteks tinggi meyakini, bahwa arti tidak selalu terdapat dalam kata-kata. Dalam budaya konteks tinggi, informasi bisa didapatkan melalui gerakan dan juga keheningan. Saya pribadi mengilustrasikannya sebagaimana perasaan cinta seseorang, dimana cinta tidak harus diungkapkan dalam kata-kata, namun juga bisa melalui tatapan, perhatian dan bahkan keheningan ketika berjumpa. Andersen menyatakan, “Budaya konteks tinggi percaya pada komunikasi non-verbal”. Menurut Gudykunst, “Kadang berkomunikasi dalam cara yang tidak langsung”. Lantas, “Apakah seorang pemuda yang berani mengutarakan cintanya kepada seorang perempuan dapat dikatakan berkonteks rendah? Saya pikir jawabannya tetap merujuk pada proses yang dilakukan lelaki tersebut. Tidak mungkin seorang lelaki berani menembak perempuan yang dicintainya, jika tidak melakukan pendekatan terlebih dahulu.
Masyarakat yang berkonteks tinggi bergantung pada ‘bagaimana sesuatu itu disampaikan. Sebagaimana orang Indonesia sangat memerhatikan ekspresi lawan bicaranya. Sementara, negara-negara yang tergabung dalam konteks rendah adalah Yunani, Latin, Italia, Inggris, Perancis, Amerika Utara, Skadinavia, Jerman, Swis dan negara-negara barat lainnya. Hal ini terjadi karena masyarakatnya yang majemuk dan individualistis. Lynch menyatakan, “Komunikasi konteks rendah berbicara lebih banyak, lebih cepat, dan kadang menaikkan intonasi suara mereka”.
“Masyarakat Amerika lebih bergantung pada perkataan yang diucapkan, dibandingkan perilaku non-verbal untuk menyatakan pesan. Mereka berpikir adalah penting untuk ‘berbicara’ dan ‘mengatakan’ apa yang ada dalam pikirannya. Mereka mengagumi orang yang memiliki banyak kosakata, dan yang dapat menyatakan dirinya dengan jelas dan dengan pintar,” kata Althen dalam buku Samovar yang saya kutip dan rangkum ini. Sekian :)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer